Minggu, 26 Oktober 2008

Aku dan Mereka Berbeda


Aku dan Mereka Berbeda

Inspirasi dari baby sitter di Mall Ciputra Semarang.

Semarang, 15 Juni 2008, 22.00 WIB.

Seminggu ini giliran jatahku dinas di Semarang, langit semarang mulai menghitam seiring mentari yang menyelinap malu-malu ke peraduannya. seorang rekan kantor menyambut hangat di Bandara, sambil memandu ke tempat parkir dan berbincang hangat, ia memberikan kunci mobil untuk operasional selama di Semarang.

Aku dan rekan Semarang berpisah di lahan parkir bandara, lantas bergegas menuju Salah satu hotel berbintang empat di wilayah simpang lima. ‘Kamar Twin beds, no smoking floor dan berada di dekat lift’ selalu menjadi pesananku setiap kali menginap di Hotel, maklum aku selalu menginap sekamar dengan atasanku sebagai mitra satu tim.

Setelah check in, menaruh barang, dan shalat, kini tiba saatnya kami mencari makan. Tak jauh lokasi yang kami pilih, mall yang bergandengan dengan hotel selalu menjadi pilihan kami makan malam di Semarang. Simple but powerful – mudah, murah, dan sekalian melampiaskan hobbi memperhatikan keragaman manusia.

Melangkahkan kaki di mall malam ini, membuat hatiku bergidik beberapa kali, bukan lantaran aura gaib Lawang Sewu* sudah pindah ke mall ini, melainkan beberapa hari ini perasaanku begitu sensitive, hatiku sangat mudah terenyuh di minggu ini. Melihat pengemis di pinggir jalan, adalah keseharian yang tak terelakkan, tapi di minggu ini sebutir air mata menetes tak terbendung dari pelupuk mataku. Saat menjenguk kakaku yang tengah dirawat di RS, kembali mengalirkan beberapa tetes airmata seraya mengingat kenanganku yang menjenguk mendiang ayahku di RS dengan masih mengenakan seragam SD. Menyaksikan pengamen cilik, kondektur tua, ibu supir busway, nenek calo terminal senen, pedagang asongan dekat kost, dan beberapa kejadian lainnya cukup membuat hatiku tersentuh dan sedih di minggu ini. Bahkan pagi sebelum aku berangkat ke Semarang, aku sempat hadir dalam acara pernikahan sepupu laki-lakiku, kurasakan aura perpisahan yang sangat dengan sepupuku yang selama ini begitu dekat denganku, lagi-lagi kutuangkan setetes air mata di pernikahannya.

Lagi, malam ini saat makan di salah satu restoran frenchise nasional, ku lihat di seberang mejaku, duduk sekelompok pengunjung dengan 4 orang dewasa, 3 orang anak kecil dan seorang remaja putri. Dilihat dari penampilan dan pola komunikasinya dapat kupastikan bahwa mereka adalah dua keluarga muda yang tengah menikmati makan malam di luar. Tak ada yang aneh dari penampilan mereka, tak cukup unik untuk menarik perhatianku yang tengah memperhatikan hilir mudik pengunjung mall dengan busana, polah, tingkah dan penampilan yang sangat beragam.

Sepuluh menit menunggu, pesanan belum juga datang, entah kenapa pandangan mataku kembali tertuju pada dua kaluarga tadi, ternyata ada seorang yang berbeda dan unik dari mereka. Semua anggota keluarga berkulit putih bersih, terawat penampilannya dan mengenakan busana trendi. Tidak demikian dengan remaja prutri yang duduk semeja dengannya,kulitnya coklat gelap, tak ber make-up dan berseragam putih kusam dengan renda merah yang biasa menghiasi celemek. -- Anda pasti mengerti bahwa ia adalah sang baby sitter yang kini tengah menggejala di lingkungan hidup para keluarga muda Indonesia. Keberadaan mereka sedemikian menggejala bak cendawan di musim penghujan.

Semangat dan antusias obrolan tak pernah surut dari setiap anggota di meja makan tersebut, keakraban sedemikian terbangun dalam setiap canda dan tawa mereka. Hal inipun menambah kontras pemandangan dihadapanku sebab sang gadis hanya termangu dengan tatapan kosong berkaca memandangi setiap pengunjung mall yang lalu lalang melewati. Pikiran gadis itu menerawang dengan sejuta bersitan rasa sedih yang sekuat tenaga dia sembunyikan, aura kesedihannya telah bisa menyeruak dan menelusup ke dasar hatiku yang ikut menabar pesona kedukaan di hatiku.

Sesekali lamunannya terusik oleh polah bocah cilik yang selalu rewel menggelayutinya, ia layani rengekan bocah cilik dengan senyum paksaan dan kesabaran yang tersisa menghadapi kemanjaan sang bocah. Ia suapi sang bocah dengan telaten padahal sang gadis terlihat lapar tanpa satu makananpun yang disiapkan untuknya. Air liur dan asam lambung mungkin sudah menganak sungai di dirinya, tak satupun anggota keluarga yang menawarkan seremah makananpun untuknya. Sang nyonya hanya bisa mengawasi dengan tetap asyik memuatkan ribuan suapan nasi ke mulutnya yang tak berhenti mengunyah.

Entah kenapa sang bocah demikian menyebalkan malam itu, dia menangis dan menuntut layanan macam-macam, lagi-lagi sang nyonya hanya bisa berujar ”kamu urus dong anakku itu dengan benar... masak sich bikin bocah diam saja kamu gak becus..!” sang nyonya kembali asyik dengan santapannya tanpa peduli bahwa sang bocah adalah anak kandungnya, dan belum sesuap nasipun ia tawarkan pada sang gadis.

Segunung ledakan atom kemarahan di diriku hampir saja tak terbendung, sungguh ingin kulabrak nyonya dan tuan yang tak berperikemanusiaan itu, ingin kulemparkan piring makanan ke muka mereka sambil kucaci maki mereka atas perlakuan diskriminasi mereka atas gadis itu. Rupanya akal sehatku masih kuasa menangkal amarah yang berlebih dariku.. ”Astaghfirullah al Azhim.. balaslah segala kejahatan dengan hikmah kebaikan.. kalau kau balas perbuatan mereka dengan kekerasan, berarti aku sama saja bahkan lebih buruk dari mereka” bathinku menenangkan luapan emosi.

Bagiku pengalaman gadis baby sitter itu adalah bagian dari pelajaran hidup yang sangat berharga, malam ini aku berjanji bahwa tidak akan berbuat demikian pada siapapun sekalipun. Terlalu banyak manusia yang berbuat nista pada sesama. Kutak ingin menambah angka statistik keangkuhan sosial di zaman ini. Cukuplah bagiku menyaksikan dunia yang penuh dengan keacuhan social, manusia banyak yang buta mata hatinya dan tuli dengan kesombongannya. Menusia begitu asyik menikmati hidup tanpa peduli realita kesengsaraan yang ada dihadapannya.

Tidak hanya pada orang tua, bahkan benih keacuhan sosial mulai berkecambah lebih dini pada jiwa remaja dan anak kecil. Masih terngiang di benakku tentang kisah seorang rekan yang menceritakan anaknya yang selalu merengek jika ingin sesuatu, apapun yang diinginkan wajib dipenuhi, dan tidak akan berhenti merengek sebelum ayahnya memenuhi keinginannya. Suatu saat, kala anaknya merengek meminta mainan yang diinginkan, ia mencoba untuk meredam, kebetulan kala itu mobil yang mereka kendarai berhenti di sebuah lampu merah yang sarat dengan pengemis termasuk pengamen cilik. “De, coba Ade liat mereka, untuk makan saja mereka susah, harus capek ngamen seperti itu, mestinya Ade bersyukur bisa makan dan sekolah dengan cukup ..” nasihat rekanku.

Itukan mereka, salah sendiri mereka miskin, aku kan berbeda dengan mereka, aku punya ayah yang bisa beliin aku mainan, jadi aku dan mereka gak sama.. pokoknya beliin mainan itu..” jawab anaknya di luar dugaan. Temankan hanya bisa mengurut dada, mencari jawab atas realita di matanya.

Aku dan kamu berbeda, kamu dan dia juga berbeda, pun dia dan kita berbeda, kita dan mereka pasti berbeda, perbedaan ada antara kita semua, tapi satu hal yang menyatukan kita.. bahwa kita adalah MANUSIA dengan semua anugerah kesempurnaan yang diberikan Allah untuk kita, maka manusiakanlah manusia, berlakukalah sebagai manusia yang dihendaki Allah sesuai amanat kemanusiaan NYA untuk kita. Wallahu A’lam.

Akhirnya dia Kembali


Akhirnya Kau Kembali*

Jakarta, 27 Agustus 2008 Pkl.21.00

By : Abdul Latief.

Bisakah anda membayangkan kebahagiaan Adam kala bersua dengan Hawa di Jabal Rahmah, setelah sebelumnya terpisahkan saat diturunkan ke Bumi?. Dapat pulakah Anda merasakan kebahagiaan Nuh dan pengikutnya saat menemukan daratan setelah sekian lama berlayar dengan bahteranya di atas genangan air bah? Atau mampukah Anda menangkap Isyarat kebahagiaan Yusuf dipersatukan Allah bersama Julaikha setelah sekian lama mendapat ujian cinta?

Tak ada kebahagiaan yang lebih indah selain pertemuan dengan sesuatu yang kita harapkan. Begitu pulalah yang kurasakan di minggu ini, mengalami beberapa kebahagiaan akibat pertemuan yang mengejutkan dengan sesuatu yang kudamba selama ini. Gerangan apa yang ingin kutemui akhir-akhir ini?

Di awal pekan ini, sepotong SMS menyeruak ke dalam HP-ku ”Alhamdulillah acara lamaran Ika & Topan berjalan dengan sukses, Insya Allah akad nikah dan resepsi tanggal ...... doakan semoga semuanya lancar, dan lo harus datang ya..” Tak kutunggu lama, langsung kusambar HP CDMA-ku dan mengucapkan selamat atas rencana pernikahan sahabatku ini. Berakhir sudah hujan air mata dan derai harapan yang kerap tertuang darinya untuk sampai pada tahap ini. Kalau saja seluruh nyamuk di kamarku ini dapat kukirim padamu, akan kuperintahkan mereka menghisap manisnya kebahagiaanmu di malam ini, agar dapat menambah manis kebahagiaanku mendengar kabar gembira ini. Pun demikian, untuk sesaat ini tak kurasakan gatal gigitan nyamuk yang tengah berdamai atas nama kebahagiaanmu sahabatku.

Kemarin, di tengah aktifitas menyusun evaluasi trainingku di Palembang, tiba-tiba meluncur sebuah Email ke inbox PC-ku, surat elektronik bertajuk ”Syukur Seperempat Abad” menyegarkan mataku yang sedari tadi menuntut untuk dipejamkan sesaat. Hatiku bersorak gembira, sambil mengucap dalam hati ”selamat Ulang tahun bro, semoga cita mu tercapai” dalam hati aku tersenyum bangga bahwa tradisi merenung dan menulisku terutama di saat ultah, ternyata juga diwarisi oleh sahabatku Edi Hudiata yang selama ini kudambakan bertemu dengannya lewat media tulis ini. Maklum, semenjak dia menapakan kaki di bumi pertiwi ini, kreatifitasnya seakan dikebiri oleh kemandekan negeriku. Inilah harta karun kreatifitas yang kembali kutemukan dari sahabatku. ”Bro, aku bahagia akan ini, semoga tidak hanya di hari jadimu,tapi kau tetap berbahagia selalu

Hal lain yang turut melengkapi bunga kehagiaan di taman hatiku adalah munculnya sesosok tubuh kurus di ujung pintu air delapan di belahan kali Sunter. Dia masih tergolek duduk menunduk, punggungnya tersandar pada pinggiran beton pintu air dengan bahu melengkung busur ke arah bawah, tanganya terkulai lemah di paha sambil memamerkan telapak kumal yang terbuka. Aku masih di seberang pintu air, gambaran dirinya masih berupa siluet, tapi aku yakin bahwa itu memang dia.

Dari seberang pintu air, hatiku mulai memekik gembira, kupercepat langkahku menuju ke arahnya, alunan musik di MP4-ku makin gemerlap menyambut pesta kebahagiaan bertemu dengan sosok yang amat kudamba kabarnya. Deru laju motor, lalu lalang pejalan kaki, bau sampah menyengat, dan gumpalan lalat di sekitar kali sunter tak sedikitpun kugubris, semakin kupacu dapur langkahku sampai pada torsi maksimal, sambil tanganku merogoh kantong bajuku mencari selembar uang sekenanya.

Langkah demi langkah semakin mendekatkanku padanya dan jelaslah bahwa, ”Itu memang kau, Pendekar Kali Sunter..!”. Segala upaya kulakukan untuk meredam resonansi kegembiraan hatiku, ingin kepeluk dan kudekap erat tubuh kumalnya sebagai ekspresi bahagiaku, tapi niat itu kandas. Aku hanya tersenyum padanya dengan senyuman termanis yang pernah kubuat, kubungkukan diri menaruh selembar uang di tangannya. Dia tak membalas senyumku, yang kuterima hanya wajah tanpa ekspresi dan segaris kerut di keningnya, aku tidak tersinggung atas reaksi hambarnya, mungkin sudah terlalu lama ia tidak mendapat senyum dari para pelintas di kali sunter dan orang disekitarnya.

Aroma kebahagiaan masih semerbak di hatiku, bau keringat kondektur Metro Mini 07 yang kutumpangi tak sedikitpun mengurangi kadar bahagiaku. ”Kenapa Kau merasa bahagia? Apakah kau bahagia dia kembali mengemis? Ataukah kau bahagia atas penderitaannya di bantaran kali itu?” tiba-tiba saja sebuah pertanyaan menyeruak dihatiku bak sambaran petir di siang bolong. Aku tak lagi tersenyum, keningku berkerut, dan hatiku mulai miris. Di kursi metro mini yang keras, aku membolak-balik labirin logika mencari jawab atas pertanyaan besar ini.

Mengemis memang bukan pekerjaan terhormat, bahkan dianjurkan untuk tidak dilakukan. Apa yang dijalani oleh pengemis itu memang bukan hal yang menyenangkan, tak seorangpun yang ingin menjalani kehidupan seperti itu, termasuk dirinya. Kalaupun aku bahagia melihatnya, bukan berarti aku tertawa di atas penderitaannya, melainkan aku bahagia karena dia masih hidup dan diberikan kesempatan untuk memanfaatkan sisa hidupnya. Bagiku, keberadaanya adalah bagian dari isyarat Tuhan untuk selalu bersyukur atas limpahan nikmat yang diberikan-Nya padaku. Aku juga diberikan kesempatan untuk menyisihkan rezeki dan berusaha meringankan beban bagi orang yang membutuhkan.” renungku dalam hati.

”Maafkan aku wahay Pendekar Kali Sunter, aku belum bisa melakukan banyak hal untukmu, uluran tanganku baru sebatas receh, itupun tidak rutin kesisihkan untukmu, tapi aku akan selalu sisihkan senyum padamu sebagai sedekah lain yang menguatkanmu. Kukan selipkan doa agar kita selalu tabah menjalani hidup. Bukan hanya kau yang sedang diuji, tapi aku, dan kita semua sedang menjalani sebuah ujian, semoga saja kita lulus ujian ini, selagi kita masih diberi kesempatan. Akhirnya kau kembali pendekarku, Selamat Datang di istanamu, semoga kita diberikan istana yang lebih indah di sisi Allah Kelak”

-- Ya ayyatuhannafsu al mutha’innah, irji’i ilaa rabbiki raadhiyatan mardhiyyah.. --

* Ini adalah tulisan ketiga dari Trilogi tentang lelaki pengemis di Pinggir kali Sunter, untuk lebih tahu tentang cerita ini, baca juga tulisanku sebelumnya bertajuk “Pendekar kali sunter” dan “Hilangnya Pendekar kali Sunter”.