Kamis, 27 Maret 2008

Hilangnya Pendekar Kali Sunter


Hilangnya Pendekar Kali Sunter

My Diary, 5 Maret 2008

Masih ingat tulisanku tentang Pendekar Kali Sunter? 30oktober 2007 yang lalu, Pendekar Kali Sunter (PKS) ini pernah singgah dalam rangkaian tulisan di diaryku. – untuk mengingat, kunjungi www.latief15610.multiply.com .

Pendekar Kali Sunter adalah satu dari puluhan ribu pengais nasib yang menggantungkan hidup melalui belas kasih orang. Tak banyak yang mereka harap melalui upaya ini, jangankan untuk menumpuk kekayaan, sekedar ganjal perutpun seringkali kurang. Tapi itu tak mematahkan semangatnya, di ‘altar pertapaannya’ berupa tanah tak beratap, di mulut pintu air delapan bantaran kali sunter, ia tetap loyal pada profesinya. Loyalitas sejati bagi para pekerja sepertinya.

Profesi? Pekerja? Ya, boleh saja orang mencibir atau risih dengan keberadaan mereka, tapi kita jangan menutup mata bahwa keberadaan mereka bukan tanpa kesengajaan. Bahkan menurut pandangan saya, mereka diciptakan melalui proses cultural dan structural dalam masyarakat kita.

Secara cultural, keberadaan mereka diciptakan oleh budaya feudal yang menuntut orang untuk memupuk kekayaan sebanyak mungkin tanpa memperhatikan kondisi sekitarnya, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Kekayaan akan membuat orang tersebut semakin berkuasa dan dihormati, dengan kemikian, semakin banyak kekayaan yang diambil bisa menciptakan orang yang berada di bawahnya menghormati, meminta, memelas bahkan menjilat. Budaya, memberi saat di mohon, dan tidak memberi sebelum di sanjung adalah salah satu budaya kemiskinan yang diwarisi oleh “Pekerja Belas Kasih” (PBK) – Pelacur saja disebut sebagai Pekerja Seks Komersial, maka Pengemis saya sebut Pekerja Belas Kasih.

Pengaruh cultural lainnya adalah, adanya kepercayaan masyarakat yang dimanfaatkan oleh Pekerja Belas Kasih ini. Kepercayaan itu adalah harapan akan memperoleh berkah jika memberi pada PBK dan akan ‘kualat’ jika menolak memberi pada mereka. Dan sebaliknya, bagi PBK mereka menganggap mereka adalah bagian dari sarana bagi para dermawan untuk menyalurkan sebagian kelebihan rizki mereka. Walaupun tak jarang mereka yang diberi bukanlah orang yang berhak untuk diberi, bahkan tak pantas untuk diberi. Tapi dikarenakan sudah melebur menjadi kepercayaan, maka tak ada rasa bersalah dari yang ‘memanfaatkan’ dan yang ‘termanfaatkan’ pun tak merasa rugi. Salahkah ini? Rasanya tak salah, hanya perlu diluruskan agar tak menyimpang.. Lho…???????

Meminjam istilah Petter F Drucker, yang lebih berbahaya dari kemiskinan adalah munculnya budaya kemiskinan. Kalau kemiskinan hanya menjangkiti orang miskin dan tidak semua orang miskin melakukan Budaya kemiskinan, malahan budaya kemiskinan ini seringkali menghinggapi mereka yang memiliki harta melimpah. Rasa tidak puas dengan yang dimiliki, haus akan harta, culas, menipu, merampas harta yang bukan haknya, suap-menyuap, dan membohongi orang lain adalah bagian yang paling berbahaya dalam budaya kemiskinan, bahkan lebih berbahaya ketimbang mereka yang menengadahkan tangan di pinggir jalan karena tak tahu harus bagaimana mengisi perut mereka yang meronta.

Lalu bagaimana dengan penciptaan PBK secara structural? Ketidakmampuan pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja adalah factor utama. Banyak dari mereka yang mempunyai semangat bekerja, tapi tak mampu terserap dalam lapangan kerja sehingga putus asa sehingga memilih profesi sebagai PBK. Lho, bukankah ketidak terserapan mereka dalam kerja bisa diakibatkan kemampuannya yang minim atau ketidak mampuan mereka untuk bersaing? Kalau begitu satu lagi masalah structural adalah ketidakmampuan pemerintah menciptakan pendidikan yang baik dan ketakberdayaan mencetak generasi bangsa yang mampu bekerja dan bersaing.

Penyebab structural lainnya adalah karena kurangnya pemerataan pembangunan di negeri ini. Tingkat pembangunan kota yang pesat tidak diimbangi dengan laju pembangunan di desa, memicu tingkat urbanisasi yang tinggi. Masalahnya, masyarakat sub urban yang mengadu nasib di daerah urban tidak bisa bersaing dengan mereka yang lebih unggul atau daya kreatifitas menciptakan lapangan kerja yang minim menyebabkan penambahan angka statistik PBK.

Sesungguhnya masih banyak lagi penyebab structural yang ada, tetapi biarlah itu menjadi urusan dinas social, dinas tenaga kerja, dan seluruh jajaran pemerintah yang memang digaji untuk mengentaskan semua masalah tersebut.

Daya dorong yang mempengaruhi menulis ini adalah rasa kehilangan yang sangat pada beberapa minggu ini. Kehilangan atas Sang Pendekar Kali Sunter. Terbilang 3 minggu ini tak lagi bisa kutatap wajah sendu PKS, uluran tangan kurusnya, balutan aroma baju kumalnya, dan ekspresi penuh harapnya.

Pelataran pintu air delapan terasa sepi tanpanya, setelah satu setengah tahun PKS menjadi gerbang pintu air delapan, kini yang tersisa hanyalah tumpukan sampah yang menjamur di bekas tempatnya bersimpuh.

Ingin ku tanyakan pada tukang ojek di pangkalan pintu air, apakah mereka akan peduli? Kuingin tanya pada tukang nasi di seberang kali, mungkin mereka malah bersyukur tak mendapat lagi uang kumal dari tangannya yang penuh kuman. Kuingin tanya pada pejalan kaki yang lewat, kurasa mereka pun senang tak ada yang mengganggu kenyamanan mereka lagi.

Haruskah kutanya pada kecoa di belahan tanah tempatnya duduk? Ataukah dia sedang bermain bersama tumpukan sampah yang menyumbat bibir pintu air? Yang kulihat kini hanya rumput hijau yang semakin tumbuh segar di bekas pelatarannya dulu. Akankah dia sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekedar menjadi Pekerja Belas Kasih? Ataukah ia kecewa dengan penyambutan ibu kota sehingga kini ia pulang kampong? Mungkinkah Tuhan terlalu saying padanya sehingga menjemputnya di awal-awal usia?

Mhm… aku tak berani lagi melanjutkan pertanyaan itu, seandainya ia pulang kampung semoga ia mendapatkan kehidupan lebih baik di kampungnya, kalaupun dia bekerja di tempat lain, semoga pekerjaannya lebih bermartabat dan mengangkat harkatnya, kalaupun dia – maaf – meninggal, semoga Allah mencatat setiap amal baiknya dan mengampuni amal buruknya, serta panggilan yang ditujukan untuknya adalah panggilan-Nya untuk para kekasih-NYA.

“yaa ayyatuha ann nafsul muthma’innah irji’ii ila robbiki rodhiyatan mardhiyyah, fadkhulii fii ‘ibaadii wadkhulii jannati..” semoga seruan ini yang didengarnya, itupun jika dia dipanggil menghadap-NYA. Sampai jumpa Wahay Pendeka Kali Sunter.

Bebanmukah yang terberat?


Bebanmukah yang terberat..?

“Dunia adalah tempat segala macam cobaan”. Semua manusia pasti pernah mengalami kesulitan dan cobaan. Cobaan selalu datang pada siapapun tak mengenal warna kulit, ras, suku, ataupun golongan, semuanya tak pernah luput dari cobaan.

Cobaan datang dalam bentuk yang berbeda. Ada yang datang dalam bentuk ketakutan, kelaparan, kekurang harta, bahkan kelebihan harta dan jabatanpun adalah salah satu bentuk dari ujian. Jadi cobaan bukan hanya berupa keburukan saja melainkan juga berupa kebaikan. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar – benarnya)”(QS: 21:35).

Manusia terkadang menganggap dirinya tidak kuat menghadapi cobaan hidup ini, bahkan banyak yang menganggap bahwa bebannyalah yang terberat. padahal Cobaan yang datang kepada manusia tidak mungkin melebihi kemampuan dirinya. Seperti firman Allah: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS: 2 : 286).

Orang yang menganggap bahwa cobaanyalah yang terberat adalah layaknya keledai yang selalu menganggap beban yang ada dipunggungnyalah yang terberat. Dan kita sebagai makhluk yang diberi kesempurnaan berupa akal, jangan sampai kita memposisikan diri sebagai keledai. Sebab seekor keledai biasa di analogikan orang sebagai orang yang bodoh dan dungu. Bahkan orang yang bodoh (tidak mau mengkaji dan mengamalkan ayat – ayat-Nya.) digambarkan dalam Al – Quran (QS: 62;5) sebagai keledai yang membawa kitab di punggungnya – sebab keledai itu hanya menanggung beratnya tanpa bisa mengambil hikmah dari kitab itu -.

Masihkah kita merasa beban kita yang terberat? Setiap kejadian mengandung hikmah dan hanya keledailah (orang bodoh) yang tidak bisa mengambil hikmah dalam setiap kejadian. Yakinlah bahwa setiap kejadian akan ‘memperhalus’ diri kita kalau kita bisa menjadikannya sebagai hikmah bukan sebagai beban. Dan jangan pernah menilai keadilan Allah melalui kaca mata yang berlensakan nafsu dan su’uzhan. Yakinlah bahwa Allah selalu memberikan semua yang terbaik, hanya bisakah kita ikhlas menerimanya? Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang sabar. Allahu A’lam.

Belajar dari Air

Belajar dari Air.

75% bumi kita diliputi oleh air, sepertiga tubuh kita diisi oleh air. Dan seluruh aktifitas hidup kita tak luput dari peran serta air. Dari mulai mandi, memasak, minum, buang air besar, bercocok tanam, kegiatan lainnya yang membutuhkan air.

Air sangat berguna bagi manusia namun juga dibalik kemulti gunanya, ternyata air menyimpan potensi besar untuk memusnahkan. Betapa tidak, ketiadaan air dapat membuat orang susah dan menderita, sedangkan keberadaannya yang berlebihan ternyata juga bisa menyebabkan kesengsaraan seperti banjir.

Air juga tidak bisa dipisahkan dari sejarah. Banyak peristiwa besar yang telah diukir oleh air. Sebutlah air bah yang menggelamkan kaum Nabi Nuh, air laut yang menggelamkan Fir’aun, atau dilemparnya nabi Yunus kedalam air. Dan bisa jadi melalui siklus airnya, membuat kita meminum air yang dulu menenggelamkan Fir’aun, atau air yang pernah jadi tumpuan bahtera nabi Nuh.

Selain hal diatas, ternyata banyak juga hikmah yang dapat kita petik dari keberadaan air di bumi ini. Air selalu mengikuti bentuk wadahnya serta mengisinya. namun, kadar dan kandungan air itu sendiri tidak pernah berubah. Hal itu mengisyaratkan keistiqomahan air dan kefleksibelan air dalam beradaptasi. Betapa tidak dimanapun kita berada kita harus selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup kita dan dapat berinteraksi di dalamnya Tapi, kita juga selalu dituntut untuk selalu memegang identitas kita sebagai seorang muslim. Bahkan lebih jauh dari itu kita dituntut untuk bisa mengisi lingkungan kita dengan nilai keislaman.

Keberadaan air adalah sebagai Isyarat bagi kita atas nikmat, ujian, dan hukuman. Keberadaan air adalah nikmat, namun juga ujian apakah kita bisa mensyukuri nikmati itu. Bahaya dari air adalah ujian bagi orang beriman, namun juga hukuman bagi orang kafir.

Siklus air adalah simbol kesabaran atas consensus alam. Air tidak pernah mengeluh ketika dipanaskan, ketika didinginkan ia juga tak pernah marah, malah dengan kedua hal tersebut ia juga masih bisa memberikan manfaat bagi orang yang membutuhkan. Ia siap menjadi asin, manis, keruh, kotor atau bentuk apapun yang alam inginkan, tapi ketika saatnya ia harus menguap dan naik keangkasa ia akan menunjukkan wujud aslinya yang bening dan suci. Begitu pula diri kita, tak peduli apakah berkulit putih, kuning, coklat hitam, berwajah cantik, tampan, atau buruk rupa, kita harus dapat menunjukkan kesucian diri kita ketika menghadap Allah. Karena Allah melihat pada hakikat (yang terletak pada hati) bukan pada bentuk fisik.

Masih banyak lagi hikmah air yang belum terkuak oleh kita, begitu juga dari hamparan air dan langit yang selalu menunggu untuk di terjemahkan hikmahnya sebagai penguat keimanan kita. Bukanlah Allah pernah berfirman : “Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakanmu. (QS. Al Alaq 1-2). Allahu A’lam.

Pendekar Kali Sunter


Pendekar Kali Sunter

My Diary : 30 oktober 2007

Dia masih saja duduk di tepian kali sunter yang airnya hitam dan berbau tak sedap, setiap pergi dan pulang kerja di pagi dan sore hari aku selalu melintasinya, seorang pria dengan baju lusuh, berperawakan kurus, berpenampilan kumal dan dengan sorot mata kosong tanpa kobaran semangat. Satu-satunya yang tersisa adalah pancaran sinar mata yang redup dan tengadah tangan memelas pada setiap pelintas jembatan pintu air kali sunter.

‘Pendekar kali Sunter’ begitu julukanku padanya, kusebut demikian bukan karena dia jago silat atau sakti, bukan juga karena dia pembela kebenaran dan mengusai belantara dunia persilatan, tapi semata karena aku tak pernah mengenal namanya, dan sepertinya dalam jangka waktu lama aku tak akan mengenal namanya, karena aku masih menikmati pengamatan dari sudut pandangku saat ini atau bisa jadi karena aku masih enggan berbincang dengannya, suatu saat nanti mungkin.

Masih dengan Julukan pendekar kali sunter, seringkali aku merasa dia cocok menerima julukan itu, betapa tidak, dia sangat tegar dan konsisten duduk tepian kali sunter yang penuh lalat, bau, kumuh dan tidak nyaman. Pagi buta sebelum saya beranjak ke kantor dia sudah ‘mangkal’ memperjuangkan sesuap nasi yang seakan menjadi haknya dari orang yang lewat. Sore menjelang menjelang rembulan mengantar mata terlelap barulah dia bergeser ke peraduannya yang sampai sekarang belum saya ketahui lokasinya, perkiraan saya berada di sekitar bataran kali sunter juga. Terik mentari yang menyengat selalu menjadi saksi ketegarannya, saat hujan mendera dia menghindari hujaman airnya dengan tetap tidak meninggalkan pendopo, pernah beberapa kali aku melihatnya makan sore – karena sepertinya makan sore ini sekaligus dijadikan dinner hari itu, menunya jauh dari kesan mewah bahkan pola makannya yang jorok membuat orang bergidik dan menolak menerimanya. Adakah yang lebih sakti dari nya..?

Pendekar yang biasanya sebutan bagi mereka yang memiliki Integritas, ketegaran, konsistensi dan jiwa pantang menyerah, sepertinya sudah sangat dijiwai oleh pendekarku itu. Menurut pengamatanku, orang yang melintas di hadapannya setiap hari adalah mereka yang memang menjadi langganan melintas di pintu air kali sunter ini, kalaupun ada pelintas baru pastinya mereka tidak terlalu peduli dan menganggap sang pendekar hanyalah bagian dari ribuan pendekar jalanan lain yang kerap ditemukan di Jakarta dan hampir setiap kota Indonesia. Kendatipun dengan kondisi pelintas yang hampir sama setiap harinya, tak pernah menyurutkan air mukanya untuk memelas pada setiap pelintas yang lewat, tak jarang dari mereka yang membuang muka, menutup hidung, menjauh, bahkan mayoritas tak menoleh sama sekali padanya, tetap saja dia berjuang menjaga pendoponya. Seakan ia menjaga sumpah ksatria untuk menjaga integritas dan kesetiaannya pada nasib yang menimpa dirinya.. adakah yang lebih konsisten darinya?

Tak sering aku menyisihkan receh di sakuku, malah lebih sering aku bersikap acuh seperti pelintas yang lainya. Tapi dia tetap saja tak menaruh dendam padaku walaupun aku yakin kalau saja dia kesal padaku, tentunya dia akan sangat hapal wajah di tingkah karena aku selalu melintas di hadapannya. Adakah yang lebih baik hati darinya?

ah.. Cuma receh…!”, “kok Cuma sedikit sich..”, “pelit lo...!” dan kata-kata cemooh lainnya tak pernah aku dengar melantun dari bibirnya, bahkan kesan malalui raut mukanya pun tak menyiratkan hal itu, sepertinya rasa syukur selalu bersenandung di setiap tarikan napas, guratan muka, dan alunan gerak tubuhnya, adakah yang lebih teduh dari jiwanya???

Berapa usianya?? Dia masih muda kok, perkiraanku usianya kurang dari 30 tahun, bahkan dari perawakannya mungkin sekitar 23-25 tahunan. Badannya terlihat sehat, walau cara berjalannya sedikit pincang – si pendekar Pincang dari kali Sunter, he he itu tambahan julukan dari kelakar nakal ku saja. Asal dari mana? MENEKETEHE.... – mana kutahu, ya sementara ini anggap aja dia dari kali sunter. orangtuanya? Mungkin dia sebatang kara, hanya nyamuk dan katak di pinggir sungai yang mungkin tahu sebab mereka sudah berteman dengannya lebih lama dariku. Sekolahnya? Setahuku ‘pengalaman’ adalah gurunya selama ini. Menurut anda, wajarkah dia mengemis??

Menurut temanku, apapun alasannya tak pantas seseorang mengemis, kecuali bagi mereka yang malas, putus asa, dan menyerah pada nasib. Andai saja dia mau sedikit berjuang, bisa saja dia meminjam gitar bekas dan mulai belajar memainkannya untuk dijadikan media pencahariannya, setidaknya orang tidak memberi karena kasihan melainkan penghargaan atas usahanya. Kalaupun tak punya modal, dia bisa mengumpulkan tutup botol bekas yang dipipihkan kemudian menjadikannya alat musik yang tidak butuh keterampilan khusus, itupun dapat menaikan harkatnya sebagai manusia. Atau bisa juga dia membeli seperangkat alat semir kemudian menjadikannya modal untuk usaha yang juga menaikan nilainya di mata orang. Usul yang brilian, tapi apakah orang seperti dia mau berupaya sejauh itu? Bukahkah selama ini dia sangat menikmati dunianya – comfortzone , para motivator bilang -- ? Mestinya pendekar seperti dia mau untuk melakukan upaya itu, itupun kalau dia memang pendekar sejati, kalau dia masih ingin menjadi pendekar kelas teri, maka nikmatilah hal tersebut sampai ajal menjemputmu, atau sampai orang sadar untuk menyadarkannya.. tugas siapakah itu? Tentunya tugasku untuk menyadarkannya, lalu sadarkah aku untuk menyadarkannya dan menyadarkan pendekar-pendekar sepertinya..? kalau sudah demikian, maka jadilah diriku pendekar sejati, jika ternyata tidak demikian, maka tanggunglah olehmu dampak tingkah laku para pendekar seperti nya.. lebih kejamnya. Bisakah aku menjadi pendekar atau hanya pecundang..?

Perjalanan


Perjalanan

Awalnya aku tiada

Kemudian ditaqdirkan dan diragukan

Di dalam rahim ibunda

Ku dibentuk dan dijiwai

Awalnya aku tiada

kemudian dilahirkan dan menangis

Di bawah naungan ibunda

Ku dibuai dan disusui

Awalnya aku tiada

Kemudian Merangkak dan berlari

Bermain di alam ilusi

Ku berlajar dan bermain.

Awalnya aku tiada,

Kemudian berpikir dan berhati

Bersama pualam mimpi

Ku dicinta dan mencintai

Awalnya aku tiada

Kemudian bicara dan berdebat

Bertarung di alam nyata

Mengerjar semua harapan diri.

Awalnya aku tiada

Kemudian berusaha dan berkuasa

Berbaur dalam kancah politik

Kurasa samar hitam dan putih

Awalnya aku tiada

Kemudian keriput dan bungkuk

Beristirahat dimasa tua

Bertaubat dan menyesali diri

Awalnya aku tiada

Kemudian ada dan diratapi

Bertengger dihimpit liang lahat

Aku kembali tiada.

Seperti halnya pisau..


Seperti halnya pisau..

My Diary : 27 oktber 2007

Sudah lama rasanya tangan ini tidak menulis, kebiasaan lama menulis puisi, cerpen, artikel, makalah, features, bahkan uneg-uneg di buku harian sudah lama aku tinggalkan. Hari ini saat hati tergerak untuk mencoba bercengkrama dengan tulisan, ternyata semuanya terasa sangat kaku dan sulit. Lidah yang biasanya mengoceh dengan kata kata tak terbendung, kita kelu tak berucap. Jari yang sedianya melumat tombol-tombol keyboard unutk merangkai kata, kini terasa beku berhenti tak bisa bergerak.

Banyak para ahli jiwa menyatakan bahwa kemampuan merangkai kata adalah bagian tersendiri dari kecerdasan manusia. Artinya secara tidak langsung mereka berkata bahwa menulis adalah bakat, sehingga bagi mereka yang didalam dirinya tersimpan kecerdasan menulis, maka dia akan sangat mudah untuk merangkai kata dengan indah, kalaupun dia tekun dan terus belajar, maka dia akan menjadi seorang penulis yang handal.

Tapi tidak halnya bagi para penulis, mereka menganggap apa yang dimilikinya sekarang bukanlah sebuah anugerah, melainkan hasil sebuah kerja keras. Tidak ada orang yang dilahirkan menjadi seorang penulis, penyanyi maupun politikus, semauanya diciptakan sebagai manusia kosong yang sama! diri mereka sendirilah yang menciptakan mejadi siapa mereka kelak. Jika anda menciptakan diri anda sebagai penulis, maka anda akan menjadi penulis, begitu halnya jika anda menjadikan diri anda sebagai seorang politikus, maka jadilah anda seperti itu. Atau jika anda ingin menjadi seorang politikus sekaligus penulis, hal tersebut tidaklah mustahil bagi anda, sudah banyak buktinyakan??? “you don’t think what you are, you are what you think..!”

Bagi orang berpunya, menjadi penulis bukanlah hal yang susah. Kendati hanya berbekal skill seadanya, imajinasi dangkal, ide kerdil dan usaha ala kadarnya, toh ia bisa juga menjadi penulis, bahkan menjadi terkenal sekalipun. Caranya? Anda tinggal bayar saja seorang penulis dengan bakat luar biasa, ide yag brilian, imajinasi selangit, dan usaha yang pantang menyerah, perintahkan dia menulis atas nama anda, dan mengatakannya bahwa smua itu ada tulisan anda.. maka jadilah anda penulis buku..!

Tak panjang-panjang, kesimpulan atas kesulitanku hari ini adalah : kemampuan ibarat sebuah pisau, semakin sering anda asah dan gunakan, semakin tajam dan berdaya guna untuk anda, sebaliknya juga tak pernah anda asah, jangan-jangan dia akan berbalik memotong anda..!

Palembang, I’m Coming...!


Palembang, I’m Coming...!

Palembang, 9 maret 2008

Hari ini adalah hari pertama saya di Palembang dan kali ke-4 saya dinas di Palembang. Perjalanan Jakarta-Palembang terasa sangat singkat, baru saja para pramugari Garuda menyuguhkan hidangan,tak lama kemudian announcement kedatangan di Palembang sudah didengungkan. Ya itulah manfaat positif dari kemajuan teknologi, tak terbayangkan oleh saya jika harus melakukan perjalanan tanpa kendaraan bermesin seperti mobil dan pesawat. Tentu perjalanan ke Palembang tidak akan memakan waktu 1 jam seperti sekarang melainkan berhari-hari dan melelahkan.

Setiap menjalani perjalanan hidup,saya selalu berusaha mengambil daya tariknya sendiri, selalu ada kejadian yang amat menarik untuk dicatat dan dijadikan hikmah. Khusus di Palembang kali ini, daya tarik terbaru adalah dari kembalinya gairah pemerintah kota Palembang untuk menghidupkan gemerlap pariwisata di Palembang. Belum lekang dari ingatan saya, pada akhir 2007 yang lalu, Pemerintah kota Palembang me-launching program pariwisata ’VISIT MUSI 2008’ yang dibuka dengan sebuah event megah, hingga melibatkan beberapa stasiun TV nasional yang menyiarkan secara langsung prosesi tersebut.

Sempat menggelora rasa penasaran saya untuk segera melihat dan merasakah aura perubahan Palembang setelah Visit Musi digelar, walhasil tiba juga saya menyaksikan perubahan tersebut. Apakah perubahan tersebut sepektakuler? Ternyata hati saya bergidik, ”Lumayan Juga..!” walau tak seperti ekspektasi awal saya yang mendamba sebuah perubahan sepektakuler di kota pempek ini.

Perubahan yang paling nampak dari Visit Musi ini adalah dibuatnya beberapa taman dan area lapang serbaguna di kolong jembatan ampera di sisi Sungai Musi. Sungai dibuat sedemikian bersih dengan tempat parkir kapal yang diatur rapih. Perubahan lainnya adalah mulai dibangunnya jalan layang di jalan dekat akses ke bandara yang – seingat saya – sejak 8 bulan yang lalu sudah mulai dirintis, tapi belum rampung sehingga hanya menyisakan kemacetan dan pengalihan arah lalu lintas.

Perubahan lainnya? Air mancur di depan mesjid Agung yang selama ini dibiarkan teronggok tak berjalan, kini mulai diaktifkan kembali. Batin saya berkata ”gitu donk, masak sich dibuat hanya untuk menyambut Megawati –saat itu masih menjabat Presiden yang datang meresmikan PON – kemudian dibiarkan tak terurus..!”

Apalagi yang berubah? Banyak..! Jalanan semakin macet, pengemis dan anak jalanan semakin nyata terlihat, mall semakin ramai pengunjung, pasar tradisional semakin terpinggir, angkot membludak, kendaraan menjamur, dan yang juga nyata terlihat adalah gaya hidup metropolis mulai menjamah para penduduknya terutama anak muda. Yang jelas ini semua adalah ciri khas dari kota yang sedang merangkak berkembang termasuk Palembang.

Itulah sedikit kesimpulan pengamatan saya mengenai kota dengan ikon jembatan Ampera ini. Sangat subjektif memang, dan tidak bisa merepresentasikan seluruh kondisi yang ada di Palembang. Tapi paling tidak inilah sudut pandang saya ’pendatang’ yang belum sempat menjajaki seluruh pelosok kota ini.

Satu hal yang cukup melegakan hati saya adalah testimony dari seorang penduduk asli palembang yang mengatakan ”kita sekarang tidak lagi merasa minder dan malu menjadi orang Wong Kito Galo..!, Palembang sudah maju pesat dibandingkan beberapa tahun yang lalu”.

Mhmm.. memang seperti inilah mestinya pembangunan, harus dirasakan langsung secara positif oleh mereka yang tinggal di dalamnya” batinku.

Biarkanlah Palembang dan seluruh penduduknya berjuang memajukan kota tercinta mereka. Sebagai seorang pendatang sesaat, saya tidak ingin mencampuri urusan mereka, apalagi sekarang di kota ini sedang marak kampanye pilkada Gubernur, yang setiap calon menebar janji muluk, dengan program yang bombastis. Saya hanya bisa berdoa, semoga mereka mencatat setia ucapan, rencana, dan janji mereka selama kampanye. Sebab janji adalah hutang...! semakin banyak orang yang diberikan janji, maka semakin banyak hutang mereka bagi konstituennya, semua janji itulah yang akan dimintakan pertanggung jawabannya kelak di Akherat.

Mulutmu harimaumu..! ucapan seringkali meluncur deras bak peluru senapan, sulit ditangkap, tak terlihat, tapi amat besar dampaknya. Semoga mereka menyadari dan mencatat semua ucapan mereka.

Saat kampanye rakyat dijunjung, saat terpilih rakyat tak dikunjungi. Saat kampanye rakyat di undang bertemu, sesudah menang rakyat tak bisa bertemu. Semoga saja kejadian berulang di setiap daerah di Indonesia tak terulang di Kota ini.

Satu lagi harapan saya, semoga penduduk kota ini tetap dijaga keimanan dan ketaatan mereka terhadap agamanya. Semoga mereka dapat merasakan nikmatnya hasil pembangunan dan jerih payah setiap usaha mereka. Dan jangan sampai mereka dirundung kekecewaan atas efek negatif deras laju pembangunan.

”Palembang I’m Coming...” bisikku dalam hati.

Tutup Pintu Setan

Tutup Pintu Setan

Palembang, 12 maret 2008

Malam ini, selepas menyantap pindang Shopia di Plaju dan menikmati duren di pasar Kuto, kini tiba waktunya aku kembali ke Hotel dan mempersiapkan diri untuk training esok hari.

Sesampai di kamar, saya nyalakan TV dan membuka laptop untuk me-refresh materi training esok hari. Di tengah keasyikan saya ’berkencan’ dengan laptop, tiba-tiba tersirat sekelebat ingatan mengenai sahabatku yang kemarin malam sedang gundah gulana itu terlihat dari SMS-nya yang berisi “Knflik btin gw kumat lg nih, kdg gw g kuat org lain ngnggp gw tnp prikemanusiaan, mnjd hnrr = siap mnghmbkn dr. Ya Allah, apkh hmb trmsk yg brilmu drjtnya?”

Apakah dia sudah kembali tenang? Apakah kegundahannya telah terobati? Apakah gerangan penyebab hal tersebut? Setahuku, Sahabatku seorang dengan tingkat intelektual tinggi, semangat yang membara, keteguhan hati yang tak tergoyahkan, dan tak pernah secara nyata kulihat dia gundah seperti ini. Ada apa denganmu?

Sejenak kurenungkan sebuah nasihat dari guruku, bahwa setan tak akan menyerah untuk menjerumuskan manusia ke lubang kenistaan. Genderang perang tak pernah berhenti ditabuhkan untuk meruntuhkan benteng keimanan manusia. Hal inilah yang disebut dengan perang abadi antara kebaikan dan kejahatan. Lalu apakah sahabatku itu telah kalah berperang?

” Setan akan selalu mendatangi manusia dari berbagai arah pintu. Mereka datang dari depan, belakang, kanan dan kiri selama kita bisa menutup pintu masuk itu, maka kita tidak akan pernah kalah dalam perang. Dan ada arah pintu yang tidak akan bisa di lalui setan, yaitu pintu dari bawah dan pintu dari atas” tambah guruku.

Apa yang dikatakan guruku itu bukan sebuah nasihat yang dapat ditelan mentah-mentah, melainkan nasihat yang memiliki makna filosofis. Setan memang akan datang dari depan kita dengan beragam cara dan tipu muslihat, semakin tinggi keimanan seseorang, maka semakin tinggi tingkat godaan yang akan diberikan oleh setan. Hebatnya lagi, setan sangat mengetahui titik kelemahan iman kita, dan hal tulah yang akan dimanfaatkan olehnya untuk menjerumuskan kita.

Setan memang akan datang dari depan kita. Ini kaitannya dengan kelemahan manusia yang terobsesi untuk mencapai keinginannya di masa depan. Nafsu manusia cenderung mendorongnya untuk mengenyam kenikmatan dalam hidupnya, bahkan orientasi mereka untuk memupuk kekayaan, kehormatan dan mempersiapkan hidup bagi kejayaan diri dan keluarganya di masa depan. Hal ini lah yang dimanfaatkan setan untuk menggoda manusia memenuhi setiap keinginannya itu, manusia dijadikan budak untuk mengejar obsesi dan keinginannya dengan menghalalkan segala cara. Hitler, Napoleon Bonaparte, Alexander the Great, Qorun, Fir’aun Ramses II adalah beberapa contoh besar dari mereka yang diperbudak oleh nafsu memupuk kekayaan, kejayaan, kehormatan, kekuasaan dengan menghalalkan berbagai cara. Para koruptor, perampok, penjudi, pemelihara tuyul, adalah contoh lain dari mereka yang menggadaikan Hidup demi keinginannya.

Datangnya setan dari sebelah Kiri mengisyaratkan bahwa setan senantiasa menjerumuskan manusia untuk berbuat sesuatu yang keji dan mungkar, seperti membunuh, mencuri, dan perbuatan lainnya.

Sedangkan kedatangannya dari kanan menyiratkan makna bahwa banyak manusia yang selalu berbuat baik dan susah bagi setan untuk menggodanya. Tapi setan tak habis akal, dia akan datang menggoda manusia untuk berbuat baik dengan diwarnai sikap riya, sum’ah, takabur dan hasud. Riya adalah sikap memperlihatkan segala kelebihan yang dimilikinya, baik berupa harta, tindakan, maupun isyarat. Sum’ah adalah menyebutkan segala kelebihan yang dimiliki. Sedangkan hasud adalah rasa iri dan dengki. Hal ini ternyata banyak menghinggapi para kaum yang berilmu, bahkan para ulama sekalipun. Itulah sebabnya tak ayal kita temukan para ulama saling menghujat dan mendeklarasikan dirinya paling benar. Meminjam istilah Cak Nur ”ingin masuk surga dengan mendorong orang lain ke neraka”

Susah memang menghadapi setan dan segala tipu muslihatnya. Mereka memiliki sebuah visi yang panjang dan tak menyerah sebelum hingga visi itu tercapai. Visi mereka adalah menjadikan kita sekutu mereka di dunia dan menemani di Akhirat. Akankah kita bisa bertahan dan lebih kuat mempertahankan pencapaian visi kita? Semoga saja... semoga saja.. aamiin...!

Setan datang dari kanan, kiri, atas, dan bawah. Lalu bagaimana mungkin mereka tak bisa masuk dari bawah? Jawabannya singkat saja ”bukankah tugas setan selesai ketika kita sudah terkubur di liang lahat?” ya, setelah kita meninggal maka terputuslah hubungan kita dengan mereka, yang tersisa hanya pertanggung jawaban kita dengan Tuhan.

Kunci utama yang mesti kita pegang teguh adalah dengan membuka pintu dari atas selebar-lebarnya, sebab dari sanalah setan tak mungkin memasuki diri kita. Artinya, jika kita berpegang teguh – istiqomah, di jalan Allah, maka setan takan sekalipun mengganggu kita. Ingatlah pada Allah di saat kita duduk, berdiri, berjalan, bahkan terbaring. Jalankanlah segala syariat-Nya dengan baik dan benar, maka kita akan selamat dari persekutuan dengan setan. Nestapa dan duka, semuanya indah, tentram, dan nyaman.

Jika kita berpegang teguh dengan ikatan dengan Tuhan, maka yang kita akan dengar kelak adalah panggilan terindah dalam hidup berupa ”yaa ayyutuha an-nafsu al muthma’innah, irji’ii ilaa robbiki raadhiyatan mardhiyyah, fadkhulii fii ’ibaadii wadkhulii jannati..”

Kebangkitan Kawan Lama

Kebangkitan Kawan Lama

My Diary : 6 Maret 2008

Minggu ini adalah minggu yang menyenangkan, banyak kejadian luar biasa yang aku alami, semua peristiwa hebat itu mengalir begitu deras sehingga membludak di sanubariku dan mendorongku untuk giat menuliskannya. malangnya aku, hanya terhitung satu tulisan diary yang mampu aku tulis, padahal mestinya sejuta karya yang harus kutelurkan.

Ternyata banyaknya kejadian, dan dorongan yang kuat untuk menulis tidak selalu membuat kita semakin produktif menulis. Itulah mungkin yang dirasakan oleh sobat karibku Edi Hudiata yang piawai merajut kata dalam tulisan, tapi tak mampu mengoretkan tintanya sama sekali. Ibarat semut yang shock di gudang gula, syukur-syukur semut itu gak punya penyakit jantung, yang membuat dia mati terkapar, dalam kasus sobatku edi, dia tak sampai mati hanya perlu adaptasi dengan dunia barunya di Indonesia.

Kalau boleh menerka-nerka, rasanya negeri Cleopatra yang mengalir sungai Nil di sekitarnya lebih memacu libido edi dalam menulis, atau edi sedang mendamba Cleopatra Indonesia yang menggantikan potongan puzzle hatinya yang hilang. -- He.. he.. mumpung ente masih lemah syahwat bahkan hampir mandul menulis, ane bisa bebas berkelakar tentang ente, kalau tertarik, silahkan balas lewat tulisan.

Edi yang lulusan universitas ternama di negeri Fir’aun, sanggup menggetarkan layar monitor PC-ku pagi ini. Betapa tidak, setelah sekian lama absent di Inbox Emailku, Tulisannya yang bertajuk “Pesona Cleopatra Tak Pudar Di Banten; Membincang Film “Ayat-ayat Cinta” ternyata mendobrak tangga urutan tertinggi dari antrian emailku pagi ini. Wow.. ternyata Edi mulai perkasa, apakah karena asupan energy drink yang semalam dia minum? atau karena dia telah menemukan kembali potongan jiwanya yang selama itu terhempas??

Apapun yang membuat Edi kembali menulis, pastinya dalam hatiku aku berharap 2 hal untuknya, pertama, semoga saja ini awal dari kebangkitan kreatifitasnya yang selama ini teronggok tak berdaya. Kedua, semoga saat Edi menyaksikan Ayat-ayat Cinta, disampingnya duduk seorang Cleopatra yang telah mewarnai dirinya, entah dia dia seorang putri dari Marbela Anyer, seorang bidadari dari STMIK Banten, atau seorang Peri dari Ciracas Serang? siapapun dia. Siapapun dia, aku bersyukur Kawan lamaku telah bangkit.

Satu hal untuk kawanku dan diriku, tak peduli sebanyak apa kejadian yang kamu alami, yang terpenting adalah, sebanyak apa hikmah yang kau raih dari setiap kejadian itu.

Kalau kau melihat lautan, jangan hanya seperti anak kecil yang asyik bermain di pinggir pantai, terlena mengumpulkan potongan kerang di bibir laut, sedangkan keindahan sejati bukan ada dipermukaan. Untuk itu, selamilah lautan, kendati teramat luas untuk kau jelajahi, paling tidak kau tidak tertipu oleh buaian permukaan yang menghanyutkan. Kalaupun kau mati tenggelam di dalamnya, engkau sudah menjadi bagian dari lautan yang penuh hikmah dan kesucian.

Nikmatnya Hidup

Nikmatnya Hidup

Makasar, 21 Feb 2008, 23.00WITA

Hari ini cukup berat kulalui,

Seberat dulu yang pernah kutak ingin lalui,

Selalu ini terulang untuk dilalui,

Jika begini terus tak ada nikmat yang kucicipi.

Itulah sekelumit kisah hari ini, setelah banyak hari aku lalui tanpa kesulitan, kini kembali aku rasakan ketidaknyamanan menjalani hidup. Menjalani beratnya hari ini kuteringat pertanyaan sederhana dari seorang adik tingkat kuliahku, ”kakak kok keliatannya selalu optimis dan tidak pernah kendur semangat, boleh tahu resepnya??”.

Mmhhmm... sebenarnya malu juga mendapat pertanyaan ini, ternyata selama ini aku sukses memerankan sebuah sandiwara dunia ini. meminjam istilah temanku, aku sukses memerankan tokoh dalam topeng kehidupan.

Selama ini aku memang tak pernah mau menunjukan isi perasaanku. Dimanapun, kapanpun, bagaimanapun, siapapun, dengan alasan apapun saya tidak ingin menunjukan perasaan negatif pada setiap orang yang aku temui. Selalu saja aku memunculkan tampilan positif dalam kondisi apapun saat berinteraksi dengan orang, walaupun kadangkala beratnya hempasan gelombang rasa tak sanggup aku sembunyikan dalam tampilan nyata.

Munafikkah aku saat menyembunyikan rasa negatif diriku? Terserahlah.. yang pasti kutak ingin kesedihanku membuat orang lain sedih, kelelahanku melahirkan peluh di kawanku, kesakitanku mengaduhkan sahabatku, atau kesulitanku menghambat laju rekanku. Semua kupendam sendiri, karena bagiku menyebarkan aura negatif, sama saja membuat orang lain menderita dan itu DOSA... Biarlah air mata hanya mengalir deras dalam pelupuh hatiku, asalkan jangan membanjiri pipi orang disekitarku.

Mengingat pertanyaan adik tingkatku, seperti merekonstruksi labirin kenanganku atas jawab yang pernah kulontarkan padanya dulu. Semoga saja hal itu sekaligus menjawab gejolak batin yang kurasakan kini.

Berikut beberapa serpihan hikmah yang pernah saya utarakan untuknya :

Neng... – biasanya kupanggil dia dengan nama, tapi kutulis saja ’neng’ dalam tulisan ini – tak ada seorangpun yang lepas dari masalah, setiap manusia pasti pernah merasakan rintangan, tapi semua itu tak akan melampaui kemampuan kita sebagai manusia. Kalaupun ada yang tidak kuat dan putus asa menghadapi masalah, yang jelas bukan karena masalahnya yang terlalu besar, melainkan dia membatasi kemampuan dirinya dalam melalui masalah.

Neng... masalah adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita, bukankah Tuhan menciptakan segala sesuatunya berpasangan? Nah, masalah ada salah satu pasangan hidup kita, yang juga dipasangkan dengan solusi dalam hidup. Jadi, masalah pasti datang datang pada kita,tapi selalu disertai pasangan nya yang setia yaitu Solusi.. jadi tugas kita adalah menjadi Comblang dari Masalah.. untuk dikawinkan dengan Solusi.

Neng... semua dalam hidup kita tergantung pada sudut pandang dan tindakan kita terhadapnya. Cara pandang kita menentukan apa yang akan kita lakukan, dan apa yang kita lakukan menentukan hasil yang akan kita raih. Jika kita berpandangan negatif, maka tindakan kita akan negatif, hasilnyapun tak pernah berakibat positif.

Untuk itu, cobalah mulai merubah sudut pandang kita..! jangan lagi berkata ’susah’ tapi ’ini tantangan yang menarik’, hindari ’saya tidak bisa’ gantilah dengan ’saya akan mencoba’, bukan ’gagal’ tapi ’keberhasilan masih tertunda’..

Neng... semua penderitaan yang kita rasakan akibat ulah kita sendiri, lebih menyakitkan jika penderitaan itu muncul dari salah pandangan mata. ’melihat pada yang lebih tinggi dalam urusan dunia, memandang pada yang lebih rendah dalam urusan agama’ adalah pintu gerbang penderitaan yang pertama...

Neng... Jangan sesali apa yang kau raih, tapi syukuri..! sebab, hanya keledai yang selalu menganggap bebannya terberat dan hidup orang lain lebih nikmat. Jangan ikuti mereka yang menganggap rumput tetangga lebih hijau, rumah orang lebih megah. Sebab semuanya kembali kepada kepuasan diri. Dalam pepatah Arab pernah dituturkan ”idzaa maa kunta dza qolbin qonuu’in, anta wa maaliku ad dunya sawaaun – kalau hati kamu merasa puas, maka anda telah menjadi raja di dunia ini”

Neng... kalau mau jujur, neng pasti bingung kenapa neng menderita dan tak merasa senang saat ini. Semua ini karena kita sering menganggap masalah pada sesuatu yang tidak perlu dipermasalahkan. Apalagi jika masalah yang muncul diakibatkan rasa dengki pada orang lain, bukankah kedengkian itu melahap rakus setiap kebaikan layaknya api unggun yang melahap habis kayu bakar

Neng... seringkali kita sangat dekat pada Tuhan saat kita merasa menderita, dan menjauh saat kita gembira, konyolnya itu dilakukan terus menerus. Tak ada salahnya anda dekat pada Tuhan, hanya saja ketidak konsistentan anda lah yang salah.

Neng... kadang kita juga merasa kesal pada Tuhan, karena merasa DIA tidak adil, atau lelah karena permintaan kita tak pernah dikabulkan padahal setiap saat kita mengetuk pintu kabul-NYA. Camkanlah neng.. ”Andaikan saja semua doa kita dikabulkan Tuhan, maka yang terjadi tidaklah lagi kemaslahatan. Tidak semua ketulusan doa kita dikabulkan Tuhan, tapi yakinlah bahwa apa yang ditakdirkan Tuhan adalah yang terbaik menurut-Nya untuk kita.”

Neng... bukankah kita ini dibesarkan oleh masalah? Kita bisa bertahan hidup karena pernah merasakan sakit yang sukses kita lalui dan menjadi imun terhadap sakit yang sama. Masalah yang kita hadapipun membuat kita lebih tegar dan sukses menghadapi masalah yang sama. Walaupun pada kenyataannya banyak yang terjeblos pada lubang yang sama berkali-kali, tapi bukankah Tuhan selalu memberikan kita kesempatan untuk memenangkan perhelatan itu? Memang sich kita seperti keledai jika selalu terjebak dalam kesalahan yang sama berulang-ulang, tapi itu lebih baik ketimbang menjadi semut yang mati di gudang gula.

Neng... perubahan dalam hidup itu tidak ada yang sekejap, semuanya datang secara bertahap dan alami, bersabarlah meraih perubahan dalam hidup, sebab semakin kita sabar semakin baik hasil yang kita perolah. Seperti halnya kerang mutiara yang harus menahan sakitnya tusukan batu pasir di rongganya, kesabarannya membuahkan mutiara indah yang mahal. Atau layaknya keramik indah yang harus menahan derita hempasan, pukulan, pembakaran dan pengecaran yang memuakan, hasilnya sebuah guci keramik yang indah berharga mahal. Atau intan berlian, rubi, mirah delima, emerald, dan batu mulia lainnya yang harus dikikir dan digosok untuk menemukan keindahan sejati yang terpendam di dalamnya.

Neng... penderitaan itu hanya datang bagi mereka yang obsesif dan tak bersyukur. Mereka disiksa oleh dahaga nafsu yang tak pernah terhapuskan. Satu gunung emas mereka miliki, tak cukup membuatnya bahagia sebelum dua,tiga,empat bahkan seluruh dunia mereka miliki, selama itu pula mereka tak merasa bahagia dan menjadi budak bagi keinginannya sendiri.

Neng... mereka yang bahagia adalah mereka yang merasa puas dengan apa yang mereka miliki, kendati mereka tak memiliki apa-apa – hati yang puas itulah harta berharga yang tak terbeli oleh apapun kecuali meraihnya sendiri. Sebaliknya mereka yang mempunyai segalanya tapi tak puas karena ingin meraih segala keinginan, sesungguhnya merekalah orang yang paling menderita.

Neng... hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan dengan derita dan air mata. Terlalu mubazir jika energi kita habis untuk kesia-siaan. Bukankah manusia yang terbaik adalah mereka yang paling banyak berkontribusi bagi kehidupan orang lain. Untuk itu, segera benahi diri kita, untuk berbuat bagi kehidupan dunia yang lebih baik.

Neng... hidup ini mudah, jadi buat apa dipersulit, nikmati sajalah... Hidup hanya sekali, hiduplah yang berarti Lillahi Ta’ala.

Mhmmm terkuak sudah resep penyembuh gundahku malam ini. Kini, kubisa menutup mata dengan ringan, kubisa pejamkan mata dengan keteduhan, tak ada beban, tak menanggung hutang, tak bergundah gulana, sepertinya malam ini akan menjadi malam yang indah, atau paling tidak, tidurku akan dihiasi mimpi yang indah.

Generasi Penikmat

Generasi Penikmat

Makasar, 21 Feb 2008, 23.20WITA

Mamaku bilang,

Hidupnya penuh perjuangan

Kegigihan menjadi napas tak terelakan

Hidupnya kini berkat kerja keras tiada lekang.

Bapakku bertutur,

Sejak kecil beliau hidup prihatin,

Keharusan bertahan hidup,satu-satunya bahan bakar

Suksesnya kini berkat usaha tiada letih.

Nenekku berkisah,

Di masanya dulu, tak semudah sekarang

Semua diraih dengan ketekunan

Tak ada keterpaksaan, sebab dengan itulah ia bertahan.

Kakekku menitipkan cerita,

Dirinya lalu, tak seperti di zamanku kini,

Keyakinan menciptakan ketegaran,

Ketegaran dipadukan kesungguhan,

Itupun mesti berkemampuan,

Kendati tak berdaya, rintangan dapat terelakan.

Menurutku kini,

Zamanku masa menikmati,

Tak mesti bertaruh hidup dan mati,

Semua tinggal menduduki.

Zamanku kini masa yang hampir mati,

Tak menumbuhkan hanya menuai hasil,

Tak menjaga hanya menggerogoti,

Tak membangun hanya mencerabuti.

Zaman ku kini generasi lupa diri,

Putus asa tak kuasa diri,

Menjilati tak tahu diri

Menikmati tak jaga diri,

Mencerabuti tak kenal diri,

Mengoreki tak ukur diri,

Tak sadar maka mengubur diri.....

Dasar generasi penikmat..!

Hujan

Hujan

1 November 2006

Hari ini adalah pembuka bulan november, saya jadi teringat dengan tembang lama berjudul “November Ceria” yang -- kalau tidak salah -- dilantunkan oleh Vina Pandu Winata. Ternyata banyak orang yang merasa optimis bahwa di bulan ini orang akan meraih kehidupan lebih baik, apalagi hari ini ternyata disambut dengan Hujan lebat yang selama ini sudah dinantikan orang. Betapa tidak, tahun ini hampir seluruh wilayah Indonesia didera kekeringan, termasuk di Bogor yang terkenal dengan Kota Hujan.

Kekeringan di Indonesia memang telah merugikan banyak pihak, terutama para petani yang harus menangguhkan penanaman padi dan tanamannya, sehingga nyaris tak ada penghasilan bagi mereka, belum lagi harga beras yang tidak memihak pada petani telah menambah beban hidup mereka. Dasyat benar memang kekeringan di tahun ini, bahkan di rumah sayapun harus membayar orang untuk mengangkut air guna memenuhi hajat hidup di rumah.

Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar… kekeringan ini rupanya telah membuat beberapa dari kita tidak sabar – semoga saya tergolong dalam orang yang sabar. Banyak yang Mencaci dan mamaki keadaan ini, padahal betapa nikmat Allah begitu banyak pada kita, tapi kita kurang mensyukurinya, baru sekedar kekurangan air saja banyak manusia yang sudah mencaci dan memarahi Tuhan.

Coba kita renungkan, setiap detik, terdapat nikmat Tuhan yang tak terhingga buat kita, dan kita tidah mensyukurinya. Ini ibarat pepatah “susu sebelanga rusak oleh nila setitik” atau juga relevan dengan “gajah di pelupuk mata tak terlihat, kuman diseberang lautan dapat terlihat”. Jadi mulai saat ini sadarlah bahwa kita harus segera bersujud syukur atas limpahan nikmat yang tiada henti dan tak terhingga, juga meminta ampun atas kekhilafan yang kita lakukan.

Kisah 2 Pohon

Kisah 2 Pohon

17 November 2006

Di tengah padang ada 2 pohon, 1 pohon bunga indah sekali, 1 pohon rindang berbuah tapi tidak indah, ketika pagi hari, ada yang datang dan melihat 2 pohon itu. Ia serta merta menghampiri bunga itu, memandanginya takjub. Tanpa terasa matahari semakin tinggi dan panas, akhirnya mau tak mau ia lari mencari perlindungan, kemana ia lari ? kenapa harus ke sana?

Jawabnya:

“yang datang” itulah wanita, “2 pohon” itulah 2 orang pria dengan 2 kondisi yang berbeda, “Matahari” itulah realita hidup yang wanita jalani, “pada akhirnya” begitulah akhirya…..

inilah SMS yang aku terima dari Guruku yang tak hanya ingin kuanggap sebagai teman, inilah realita hidup yang ia jalani, dan selama ini amat berbekas dalam setiap langkah yang ia jalani, bagiku Fifty-fifty yang bisa kuterima sebagai bagian kebenaran dari pemikirannya.. selebihnya, ternyata masih banyak ‘bidadari surga’ yang siap menemani kita apa adanya…. Menuju kehidupan bahagia dunia dan akhirat…

Lagi tentang aura senin

Lagi tentang aura senin

20 Nov 2006, Senin.

Masih ingat dengan “Aura Senin”?. Ya, itu adalah perasaan tidak senang ketika akan masuk kerja pada hari senin. Alhamdulillah pada hari ini (senin), aura senin ternyata tidak datang pada saya, bahkan saya sangat rindu untuk masuk kerja karena ada beberapa aktifitas yang rindu untuk saya kerjakan.

Menyambut hari ini, saya melakukan ritual doa seperti hari biasanya, doa yang saya ucapkan adalah “Bismillahi Tawakaltu A’la Allah Laa haula walaa quwwata illaa billahi al-Aliyyil adzim”. Itukan doa akan bepergian..? Ya, mungkin itulah protes yang keluar dari mulut anda begitu mendengar do’a saya. Ya memang itu adalah doa bepergian, tapi coba anda telaah artinya “dengan –menyebut—nama Allah, saya berserah diri pada Allah, tiada daya dan upaya bagiku, kecuali dengan kuasa dari ALLAH”. Doa ini telah menjadi obat manjur bagi saya untuk meniadakan ketidakberdayaan saya menghadapi tantangan dunia kerja dan kehidupan yang keras.

“Ya Allah, Engkau Maha Kuasa, tak ada kuasa selain dengan izin-MU

Ya Allah, Tangan-MU di atas tangan-tangan kami..

Kemurahan hatimu, menandakan rahmat-MU tiada terkira

Kekuasaan diri-MU, meniadakan kuasa dari selain-MU

Hidayah-Mu menyirami kerontang hati kami.

Ya Allah, Tetaplah bersamaku sampai Ajal menjemputku kelak..

Hati-Hati dengan HATI-mu..!

Hati-Hati dengan HATI-mu..!

My Diary :27 November 2006.

Allah membalikan kau dari satu perasaan ke perasaan yang lain, dan mengajarkan melalui yang berlawanan, agar kau memiliki 2 sayap untuk terbang, bukan satu”.

Lagi, di pagi buta, saya menerima SMS dari Imandira. Kali ini berkaitan dengan Hati, atau biasa juga disebut dengan Kalbu atau Qalbu. Kalbu, memiliki 2 makna derivatif. Makna pertama adalah kalbu secara makna fisik orang biasa mengartikannya sebagai Hati, padahal makna sesungguhnya dari hati secara fisik adalah “jantung” yang memompa darah untuk mengaliri seluruh tubuh.

Makna yang kedua adalah Kalbu secara maknawi yang biasa orang sebut juga dengan Hati atau perasaan, padahal makna yang kedua ini lebih dari sekedar perasaan, sebab kalbu disini adalah pusat dari diri seseorang. Di dalamnya berkumpul segala macam kebaikan dan keburukan, didalamnya tercermin nilai diri seseorang dan terpancar segala hasil daya dan upaya manusia untuk meraih nilai dirinya di mata Tuhan. Kalbu dengan makna kedua inilah yang menjadi bahan kajian para sufi, sedangkan kalbu dengan makna yang pertama menjadi bahan kajian ilmu kedokteran.

Kalbu (secara non-fisik) adalah sesuatu yang abstrak tapi nyata. Kita tidak bisa melihat dan menunjukan bentuk dan jasad kalbu, tapi kita bisa mengetahui bahwa itu nyata. Seperti halnya rasa, saat kita putus cinta, kita akan merasakan sakit, kesal, marah, kecewa, dll tapi kita tidak bisa melihat bentuk dan warna dari rasa tersebut. Atau saat kita jatuh cinta, kita akan merasa senang, bahagia, tapi kita tidak bisa melihat bentuk dan warna dari cinta itu sendiri.

Keyakinan lain berkaitan dengan hati adalah gambaran hadits tentangnya, bahwa

“Sesungguhnya Allah tidak melihat tampilan fisikmu, melainkan melihat pada hatimu..!”

AURA SENIN

“Aura Senin”

Jakarta, 30 Oktober 2006

Hari ini adalah hari pertama masuk kerja pasca libur Hari raya Idul Fitri. Libur lebaran kali ini memang lumayan panjang – 10 hari, tapi tetap saja ada beberapa rekan kerja yang belum merasa cukup, buktinya beberapa meja di ruangan saya masih ada yang kosong, itu tandanya mereka minta tambahan libur dengan mengambil jatah cuti yang memang sudah menjadi haknya.

Mengawali Hari pertama ini saya harus bangung jam 4.30 untuk kemudian bersiap berangkat ke kantor, sebab jam 4.50 WIB saya sudah harus berangkat kerja. Sepagi itukah…? Ya tentu saja, sebab saya harus berangkat dari Rumah saya – sebenarnya rumah orang tua saya – di Tangerang, perjalanan dari rumah saya ke kantor sekitar 2 jam itupun kalau lancar, maklumlah saya kan orang pinggiran rumah saya ada di pelosok Tangerang, bahkan berbatasan dengan kabupaten Serang (Ibukota Banten). Memang sangat melelahkan jika tiap hari harus bangun jam 4.50, itulah sebabnya saya sekarang kost di daerah Kelapa Gading, yang jaraknya sekitar 10-15 menit dari kantor. Dan hanya seminggu sekali saya pulang ke Tangerang. Saat masuk kantor seperti sekarang tentunya menyisakan energi kemalasan dalam diri saya, satu sisi saya masih sangat rindu untuk bangun siang, banyak istirahat, dan bercengkrama dengan keluarga, tapi apa boleh buat, hari ini saya harus ‘membunuh’ energi kemalasan yang mulai tumbuh di diri saya bak cendawan di musim penghujan.

“Aura Senin” begitulah saya sebut hari ini, sebab bagi banyak orang menganggap senin adalah hari yang paling berat dari 6 hari lainnya dalam 1 minggu, maka bagi orang kantoran slogan “I don’t like Monday” bukanlah hal yang asing, terlebih lagi setelah melalui liburan panjang maka ‘aura senin’ semakin terasa. Hal ini timbul mungkin dikarenakan pada hari senin orang akan kembali menjalani rutinitas kerja yang berat selama 5-6 hari kerja ke depan, padahal hari sebelumnya kepenatan sudah dihilangkan dengan libur. sehingga hari senin sebagai awal pekan jadi terasa sangat berat menghadapinya “all start is difficult” begitu kilah orang.

Begitu beratnya menghadapi “aura senin”, sudah dua hari ini saya terbayang akan beban pekerjaan yang saya akan hadapi saat masuk kerja, padahal bayangan ini telah menyita kenyamanan liburan saya, tapi kemudian saya teringat oleh kata-kata seorang bijak bahwa “liburan indah anda akan segera berakhir begitu anda memikirkan pekerjaan” ucapan itulah yang kemudian membangunkan saya dari lamunan tentang beratnya pekerjaan, jalani hidup apa adanya, jangan memikirkan sesuatu diluar proporsi dan kondisi. Likulli maqaamin maqaalun, wa likulli maqaalin maqaamun. Memikirkan pekerjaan pada saat liburan bukanlah sesuatu yang tepat, begitu pula halnya dengan memikirkan liburan dan takut kerja di saat harus bekerja juga bukan tindakan yang bijaksana.

Thanks God Today is a new day…” Begitulah Slogan yang selalu di kumandangkan teman kantor saya, dan slogan ini pula yang pada hari ini saya pakai untuk menghadapi beratnya “Aura Senin”. Sebenarnya banyak cara untuk melenyapkan aura senin, diantaranya adalah komitmen dan positif thinking. Komitmen adalah keinginan dan kerja keras untuk mencapai apa yang diinginkan, sedangkan positve thinking adalah memandang sisi baik dari setiap kejadian. Komitmen akan menjadi sumber energi dan ruh dari setiap pekerjaan, komitmen juga layak disebut sebagai niat, yang posisinya menentukan hasil dari sebuah pekerjaan. Jika sebuah pekerjaan dimulai dengan komitmen buruk, maka buruk pula hasilnya apapun hasil dan bentuknya. Tapi apabila sebuah tindakan diawali dengan komitmen yang baik, maka hasil kebaikan yang akan kita tuai apapun hasil dan bentuknya. Karena menurut kepercayaan saya, bahwa orientasi nilai menurut islam adalah berdasarkan Proses bukan hasil, sedangkan sebuah proses akan dimulai dari membangun fondasi awal yaitu niat. Maka untuk hari ini niat saya adalah “Lillahi Ta’ala”. Semua diniatkan ibadah untuk Allah, sebab semua yang diniatkan untuk Allah akan berefek kebaikan dunia dan akherat, sedangkan yang diniatkan bukan untuk Allah maka tidak akan memberikan efek ibadah untuk dunia dan akherat.

Mengenai positive thinking, saya lebih tertarik untuk menyebutnya optimisme yang merupakan antonim dari kata pesimisme. “Orang pesimis akan memandang kesulitan di setiap kesempatan, sedangkan seorang yang optimis akan melihat kesempatan kendati dari sebuah kesulitan.“. Hari ini, besok bahkan seumur perjalanan hidup kita akan sangat sulit kita jalani jika kita selalu berpikiran buruk. Bagi seorang yang pesimis, setitik tahi lalat di wajah akan dianggap sebagai kotoran yang harus di bersihkan, beda halnya orang yang optimis, akan memandang tahi lalat sebagai pemanis wajah yang apabila dihilangkan maka akan mengurangi keindahan sebuah wajah.

Untuk itulah pada hari ini, saya ingin melawan “aura senin” dengan senjata ampuh saya yaitu “komitmen dan positive thinking”. Dan hasilnya, Alhadulillah cukup sukses. Ditambah lagi pada hari pertama ini saya ikutan acara Halal bi halal beserta seluruh karyawan Astra International di Head Office, acara ini tentunya menambah bahan bakar perjuangan saya untuk menjalani hidup lebih baik dunia dan akhirat.

Tersenyumlah

TERsenyumLAH

31 Okt 2006

Sore ini saya pulang kantor jam 17-an, agak telat setengah jam dari jam pulang kantor resmi yaitu 16.30 WIB, dan hal tersebut tidak pernah dipermasalahkan oleh perusahaan karena bagi perusahaan semakin telat anda pulang, maka semakin rajin anda bekerja, kecuali jika anda telat datang ke kantor, baru akan berakibat buruk buat anda, apalagi kalau istri dan anak anda menanti dirumah kemudian anda telat pulang padahal jam anda pulang kantor TENG-GO / TENG-BUR (istilah teman-teman kantor buat orang yang selalu pulang on-time – akronim dari begitu TENG langsung GO / Begitu TENG langsung KABUR), wah bisa gawat tuh… ayo mampir dimana? He he…… Jadi, pulang telat sedikit itu gak masalah, apalagi di kantor saya masih banyak teman yang belum pulang karena masih banyak kerjaan yang sudah deadline dan kejar tayang. Memang kebiasaan di kantor saya, pulang jam 17.00 masih terbilang TENG-GO sebab di sini semua orang punya rutinitas dan kewajiban kerja yang menumpuk sehingga tidak mengharuskan mereka untuk bekerja ekstra-time, inilah dunia kerja yang sesungguhnya. – kata orang, inilah mencari hidup di dunia terikat seperti di penjara –

Seperti biasa, saya pulang dengan menumpang mobil POOL kantor yang disediakan untuk mengantar pulang karyawan tukang numpang seperti saya sampai pinggiran jalan raya. Selanjutnya, perjalanan pulang saya lanjutkan dengan naik metromini 07 jurusan Semper-Pasar Senen, hampir semua angkutan kota di Jakarta memang laris penumpang apalagi di jam pulang kantor, termasuk metromini yang saya tumpangi selalu saja penuh, untungnya saat saya naik, saya ketiban rezeki bangku kosong dari penumpang yang baru saja turun, jadi saya bisa duduk, sedangkan penumpang lainnya yang sudah naik terlebih dahulu mungkin keki melihat saya yang baru saja naik langsung dapat tempat duduk,sedangkan dia harus tetap berdiri padahal sudah berdiri sebelum saya naik. He he saya sedikit egois kan? Tapi gak apalah, karena memang posisi saya adalah paling dekat dengan bangku kosong tadi, jadi inikan rezeki saya… apalogi ni ye…

Perjalanan metromini menuju gang kost sekirar 10-15 menit, kesempatan ini ternyata cukup buat saya untuk melamun. Dengan mata menerawang saya perhatikan wajah para penumpang metromini dan wajah para calon penumpang yang sedang menunggu angkutan. Sekilas saya amati raut muka dan mereka, pria-wanita, tua-muda, kurus-gemuk tak ada yang lepas dari pengamatan kilat saya, semuanya berbeda, tak ada yang mirip atau terkesan kembar, tapi ada satu kesamaan yang menyatukan mereka yaitu: tak ada satupun yang TERSENYUM.

Dalam hati saya bertanya, begitu mahalkah senyum saat itu? Sedemikian beratkah hari ini sehingga dipenghujung hari, harus diakhiri dengan cemberut dan bermuram durja. Memang, orang yang tidak tersenyum, belum tentu mereka tidak gembira, dan tidak semua orang yang tersenyum itu gembira, sebab bisa saja orang yang patah hati membuat senyum lebar bagi orang lain kendati hatinya tersayat, atau orang yang gembira menahan senyumnya agar tidak terkesan ……GILA..…. senyum-senyum sendiri. Tapi saya sangat percaya bahwa raut wajah mencerminkan diri.

Raut wajah tidak berkaitan dengan jelek dan cantik, hitam dan putih, kurus dan gemuk, atau muda dan tua, raut wajah yang saya maksud adalah ekspresi perasaan lewat wajah, bahkan orang lain menggolongkannya ke dalam teknik komunikasi nonverbal. Orang yang kecewa bisa saja tersenyum, tapi senyum akan terasa hambar, orang yang gembira bisa saja menahan senyum, tapi kegembiraannya akan terpancar lewat sorot mata dan raut mukanya yang berseri.

Anda yang telah berkerja seharian pasti merasa lelah, tapi haruskah kelelahan tersebut anda pancarkan lewat menekuk wajah dan menahan senyum? Mungkin anda sudah dibuat mumet dan pusing oleh segala macam masalah kantor yang mendera, tai haruskah hal tersebut mengikis keceriaah wajah anda. Bisakah anda tersenyum dengan tulus dan lepas, kalau anda sudah bisa melakukannya maka anda adalah orang yang bahagia, sebab senyum tulus dan lepas tidak bisa dihasilkan oleh mereka yang negatif thinking, bersedih, pusing, bermasalah, dan sakit hati. Percayalah bahwa seyum anda akan memberikan optimisme dan kebahagiaan bagi anda, karena senyum yang indah dan raut muka yang sejuk hanya bisa dihasilkan oleh optimisme dan positive thinking.--percayalah, atau cobalah maka anda akan percaya

--- Selalu ada sepotong bahagia dari belahan senyum anda ---