Kamis, 27 Maret 2008

Hilangnya Pendekar Kali Sunter


Hilangnya Pendekar Kali Sunter

My Diary, 5 Maret 2008

Masih ingat tulisanku tentang Pendekar Kali Sunter? 30oktober 2007 yang lalu, Pendekar Kali Sunter (PKS) ini pernah singgah dalam rangkaian tulisan di diaryku. – untuk mengingat, kunjungi www.latief15610.multiply.com .

Pendekar Kali Sunter adalah satu dari puluhan ribu pengais nasib yang menggantungkan hidup melalui belas kasih orang. Tak banyak yang mereka harap melalui upaya ini, jangankan untuk menumpuk kekayaan, sekedar ganjal perutpun seringkali kurang. Tapi itu tak mematahkan semangatnya, di ‘altar pertapaannya’ berupa tanah tak beratap, di mulut pintu air delapan bantaran kali sunter, ia tetap loyal pada profesinya. Loyalitas sejati bagi para pekerja sepertinya.

Profesi? Pekerja? Ya, boleh saja orang mencibir atau risih dengan keberadaan mereka, tapi kita jangan menutup mata bahwa keberadaan mereka bukan tanpa kesengajaan. Bahkan menurut pandangan saya, mereka diciptakan melalui proses cultural dan structural dalam masyarakat kita.

Secara cultural, keberadaan mereka diciptakan oleh budaya feudal yang menuntut orang untuk memupuk kekayaan sebanyak mungkin tanpa memperhatikan kondisi sekitarnya, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Kekayaan akan membuat orang tersebut semakin berkuasa dan dihormati, dengan kemikian, semakin banyak kekayaan yang diambil bisa menciptakan orang yang berada di bawahnya menghormati, meminta, memelas bahkan menjilat. Budaya, memberi saat di mohon, dan tidak memberi sebelum di sanjung adalah salah satu budaya kemiskinan yang diwarisi oleh “Pekerja Belas Kasih” (PBK) – Pelacur saja disebut sebagai Pekerja Seks Komersial, maka Pengemis saya sebut Pekerja Belas Kasih.

Pengaruh cultural lainnya adalah, adanya kepercayaan masyarakat yang dimanfaatkan oleh Pekerja Belas Kasih ini. Kepercayaan itu adalah harapan akan memperoleh berkah jika memberi pada PBK dan akan ‘kualat’ jika menolak memberi pada mereka. Dan sebaliknya, bagi PBK mereka menganggap mereka adalah bagian dari sarana bagi para dermawan untuk menyalurkan sebagian kelebihan rizki mereka. Walaupun tak jarang mereka yang diberi bukanlah orang yang berhak untuk diberi, bahkan tak pantas untuk diberi. Tapi dikarenakan sudah melebur menjadi kepercayaan, maka tak ada rasa bersalah dari yang ‘memanfaatkan’ dan yang ‘termanfaatkan’ pun tak merasa rugi. Salahkah ini? Rasanya tak salah, hanya perlu diluruskan agar tak menyimpang.. Lho…???????

Meminjam istilah Petter F Drucker, yang lebih berbahaya dari kemiskinan adalah munculnya budaya kemiskinan. Kalau kemiskinan hanya menjangkiti orang miskin dan tidak semua orang miskin melakukan Budaya kemiskinan, malahan budaya kemiskinan ini seringkali menghinggapi mereka yang memiliki harta melimpah. Rasa tidak puas dengan yang dimiliki, haus akan harta, culas, menipu, merampas harta yang bukan haknya, suap-menyuap, dan membohongi orang lain adalah bagian yang paling berbahaya dalam budaya kemiskinan, bahkan lebih berbahaya ketimbang mereka yang menengadahkan tangan di pinggir jalan karena tak tahu harus bagaimana mengisi perut mereka yang meronta.

Lalu bagaimana dengan penciptaan PBK secara structural? Ketidakmampuan pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja adalah factor utama. Banyak dari mereka yang mempunyai semangat bekerja, tapi tak mampu terserap dalam lapangan kerja sehingga putus asa sehingga memilih profesi sebagai PBK. Lho, bukankah ketidak terserapan mereka dalam kerja bisa diakibatkan kemampuannya yang minim atau ketidak mampuan mereka untuk bersaing? Kalau begitu satu lagi masalah structural adalah ketidakmampuan pemerintah menciptakan pendidikan yang baik dan ketakberdayaan mencetak generasi bangsa yang mampu bekerja dan bersaing.

Penyebab structural lainnya adalah karena kurangnya pemerataan pembangunan di negeri ini. Tingkat pembangunan kota yang pesat tidak diimbangi dengan laju pembangunan di desa, memicu tingkat urbanisasi yang tinggi. Masalahnya, masyarakat sub urban yang mengadu nasib di daerah urban tidak bisa bersaing dengan mereka yang lebih unggul atau daya kreatifitas menciptakan lapangan kerja yang minim menyebabkan penambahan angka statistik PBK.

Sesungguhnya masih banyak lagi penyebab structural yang ada, tetapi biarlah itu menjadi urusan dinas social, dinas tenaga kerja, dan seluruh jajaran pemerintah yang memang digaji untuk mengentaskan semua masalah tersebut.

Daya dorong yang mempengaruhi menulis ini adalah rasa kehilangan yang sangat pada beberapa minggu ini. Kehilangan atas Sang Pendekar Kali Sunter. Terbilang 3 minggu ini tak lagi bisa kutatap wajah sendu PKS, uluran tangan kurusnya, balutan aroma baju kumalnya, dan ekspresi penuh harapnya.

Pelataran pintu air delapan terasa sepi tanpanya, setelah satu setengah tahun PKS menjadi gerbang pintu air delapan, kini yang tersisa hanyalah tumpukan sampah yang menjamur di bekas tempatnya bersimpuh.

Ingin ku tanyakan pada tukang ojek di pangkalan pintu air, apakah mereka akan peduli? Kuingin tanya pada tukang nasi di seberang kali, mungkin mereka malah bersyukur tak mendapat lagi uang kumal dari tangannya yang penuh kuman. Kuingin tanya pada pejalan kaki yang lewat, kurasa mereka pun senang tak ada yang mengganggu kenyamanan mereka lagi.

Haruskah kutanya pada kecoa di belahan tanah tempatnya duduk? Ataukah dia sedang bermain bersama tumpukan sampah yang menyumbat bibir pintu air? Yang kulihat kini hanya rumput hijau yang semakin tumbuh segar di bekas pelatarannya dulu. Akankah dia sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekedar menjadi Pekerja Belas Kasih? Ataukah ia kecewa dengan penyambutan ibu kota sehingga kini ia pulang kampong? Mungkinkah Tuhan terlalu saying padanya sehingga menjemputnya di awal-awal usia?

Mhm… aku tak berani lagi melanjutkan pertanyaan itu, seandainya ia pulang kampung semoga ia mendapatkan kehidupan lebih baik di kampungnya, kalaupun dia bekerja di tempat lain, semoga pekerjaannya lebih bermartabat dan mengangkat harkatnya, kalaupun dia – maaf – meninggal, semoga Allah mencatat setiap amal baiknya dan mengampuni amal buruknya, serta panggilan yang ditujukan untuknya adalah panggilan-Nya untuk para kekasih-NYA.

“yaa ayyatuha ann nafsul muthma’innah irji’ii ila robbiki rodhiyatan mardhiyyah, fadkhulii fii ‘ibaadii wadkhulii jannati..” semoga seruan ini yang didengarnya, itupun jika dia dipanggil menghadap-NYA. Sampai jumpa Wahay Pendeka Kali Sunter.

Tidak ada komentar: