Kamis, 27 Maret 2008

Pendekar Kali Sunter


Pendekar Kali Sunter

My Diary : 30 oktober 2007

Dia masih saja duduk di tepian kali sunter yang airnya hitam dan berbau tak sedap, setiap pergi dan pulang kerja di pagi dan sore hari aku selalu melintasinya, seorang pria dengan baju lusuh, berperawakan kurus, berpenampilan kumal dan dengan sorot mata kosong tanpa kobaran semangat. Satu-satunya yang tersisa adalah pancaran sinar mata yang redup dan tengadah tangan memelas pada setiap pelintas jembatan pintu air kali sunter.

‘Pendekar kali Sunter’ begitu julukanku padanya, kusebut demikian bukan karena dia jago silat atau sakti, bukan juga karena dia pembela kebenaran dan mengusai belantara dunia persilatan, tapi semata karena aku tak pernah mengenal namanya, dan sepertinya dalam jangka waktu lama aku tak akan mengenal namanya, karena aku masih menikmati pengamatan dari sudut pandangku saat ini atau bisa jadi karena aku masih enggan berbincang dengannya, suatu saat nanti mungkin.

Masih dengan Julukan pendekar kali sunter, seringkali aku merasa dia cocok menerima julukan itu, betapa tidak, dia sangat tegar dan konsisten duduk tepian kali sunter yang penuh lalat, bau, kumuh dan tidak nyaman. Pagi buta sebelum saya beranjak ke kantor dia sudah ‘mangkal’ memperjuangkan sesuap nasi yang seakan menjadi haknya dari orang yang lewat. Sore menjelang menjelang rembulan mengantar mata terlelap barulah dia bergeser ke peraduannya yang sampai sekarang belum saya ketahui lokasinya, perkiraan saya berada di sekitar bataran kali sunter juga. Terik mentari yang menyengat selalu menjadi saksi ketegarannya, saat hujan mendera dia menghindari hujaman airnya dengan tetap tidak meninggalkan pendopo, pernah beberapa kali aku melihatnya makan sore – karena sepertinya makan sore ini sekaligus dijadikan dinner hari itu, menunya jauh dari kesan mewah bahkan pola makannya yang jorok membuat orang bergidik dan menolak menerimanya. Adakah yang lebih sakti dari nya..?

Pendekar yang biasanya sebutan bagi mereka yang memiliki Integritas, ketegaran, konsistensi dan jiwa pantang menyerah, sepertinya sudah sangat dijiwai oleh pendekarku itu. Menurut pengamatanku, orang yang melintas di hadapannya setiap hari adalah mereka yang memang menjadi langganan melintas di pintu air kali sunter ini, kalaupun ada pelintas baru pastinya mereka tidak terlalu peduli dan menganggap sang pendekar hanyalah bagian dari ribuan pendekar jalanan lain yang kerap ditemukan di Jakarta dan hampir setiap kota Indonesia. Kendatipun dengan kondisi pelintas yang hampir sama setiap harinya, tak pernah menyurutkan air mukanya untuk memelas pada setiap pelintas yang lewat, tak jarang dari mereka yang membuang muka, menutup hidung, menjauh, bahkan mayoritas tak menoleh sama sekali padanya, tetap saja dia berjuang menjaga pendoponya. Seakan ia menjaga sumpah ksatria untuk menjaga integritas dan kesetiaannya pada nasib yang menimpa dirinya.. adakah yang lebih konsisten darinya?

Tak sering aku menyisihkan receh di sakuku, malah lebih sering aku bersikap acuh seperti pelintas yang lainya. Tapi dia tetap saja tak menaruh dendam padaku walaupun aku yakin kalau saja dia kesal padaku, tentunya dia akan sangat hapal wajah di tingkah karena aku selalu melintas di hadapannya. Adakah yang lebih baik hati darinya?

ah.. Cuma receh…!”, “kok Cuma sedikit sich..”, “pelit lo...!” dan kata-kata cemooh lainnya tak pernah aku dengar melantun dari bibirnya, bahkan kesan malalui raut mukanya pun tak menyiratkan hal itu, sepertinya rasa syukur selalu bersenandung di setiap tarikan napas, guratan muka, dan alunan gerak tubuhnya, adakah yang lebih teduh dari jiwanya???

Berapa usianya?? Dia masih muda kok, perkiraanku usianya kurang dari 30 tahun, bahkan dari perawakannya mungkin sekitar 23-25 tahunan. Badannya terlihat sehat, walau cara berjalannya sedikit pincang – si pendekar Pincang dari kali Sunter, he he itu tambahan julukan dari kelakar nakal ku saja. Asal dari mana? MENEKETEHE.... – mana kutahu, ya sementara ini anggap aja dia dari kali sunter. orangtuanya? Mungkin dia sebatang kara, hanya nyamuk dan katak di pinggir sungai yang mungkin tahu sebab mereka sudah berteman dengannya lebih lama dariku. Sekolahnya? Setahuku ‘pengalaman’ adalah gurunya selama ini. Menurut anda, wajarkah dia mengemis??

Menurut temanku, apapun alasannya tak pantas seseorang mengemis, kecuali bagi mereka yang malas, putus asa, dan menyerah pada nasib. Andai saja dia mau sedikit berjuang, bisa saja dia meminjam gitar bekas dan mulai belajar memainkannya untuk dijadikan media pencahariannya, setidaknya orang tidak memberi karena kasihan melainkan penghargaan atas usahanya. Kalaupun tak punya modal, dia bisa mengumpulkan tutup botol bekas yang dipipihkan kemudian menjadikannya alat musik yang tidak butuh keterampilan khusus, itupun dapat menaikan harkatnya sebagai manusia. Atau bisa juga dia membeli seperangkat alat semir kemudian menjadikannya modal untuk usaha yang juga menaikan nilainya di mata orang. Usul yang brilian, tapi apakah orang seperti dia mau berupaya sejauh itu? Bukahkah selama ini dia sangat menikmati dunianya – comfortzone , para motivator bilang -- ? Mestinya pendekar seperti dia mau untuk melakukan upaya itu, itupun kalau dia memang pendekar sejati, kalau dia masih ingin menjadi pendekar kelas teri, maka nikmatilah hal tersebut sampai ajal menjemputmu, atau sampai orang sadar untuk menyadarkannya.. tugas siapakah itu? Tentunya tugasku untuk menyadarkannya, lalu sadarkah aku untuk menyadarkannya dan menyadarkan pendekar-pendekar sepertinya..? kalau sudah demikian, maka jadilah diriku pendekar sejati, jika ternyata tidak demikian, maka tanggunglah olehmu dampak tingkah laku para pendekar seperti nya.. lebih kejamnya. Bisakah aku menjadi pendekar atau hanya pecundang..?

Tidak ada komentar: